Beranda | Artikel
Dua Pengertian Sifat Kalam Allah Menurut Aqidah Ahlus Sunnah (Bag. 2)
Kamis, 8 Agustus 2019

Baca pembahasan sebelumnya Dua Pengertian Sifat Kalam Allah Menurut Aqidah Ahlus Sunnah (Bag. 1)

Ahlus sunnah menetapkan sifat “sukuut” (diam) untuk Allah Ta’ala

Dalam seri sebelumnya kita sampaikan bahwa Allah Ta’ala berbicara kapan saja Allah Ta’ala kehendaki, dengan bahasa apa saja yang Allah Ta’ala kehendaki, dengan topik apa saja yang Allah Ta’ala kehendaki, dan dengan siapa saja yang Allah Ta’ala kehendaki dari makhluk-Nya. Inilah kalam Allah dengan pengertian ke dua, yaitu kalam sebagai lawan dari “diam”. 

Sehingga konsekuensi dari sifat kalam menurut pengertian yang ke dua ini adalah Allah Ta’ala meyakini dan menetapkan adanya sifat “sukuut” (diam) untuk Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berbicara ketika Allah Ta’ala berkehendak untuk bicara. Sehingga sebaliknya, ketika tidak berkehendak untuk berbicara, Allah Ta’ala pun diam (sukuut). Diam di sini tidak sama dengan bisu, karena meskipun tidak berkehendak berbicara, Allah Ta’ala adalah Dzat yang Maha berbicara dan tidak bisu. 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu Ta’ala mengutip perkataan Syaikhul Islam Abu Isma’il Al-Anshari Al-Harawi setelah menyebutkan fitnah yang terjadi pada masa Ibnu Khuzaimah,

فَطَارَ لِتِلْكَ الْفِتْنَةِ ذَاكَ الْإِمَامُ أَبُو بَكْرٍ؛ فَلَمْ يَزَلْ يَصِيحُ بِتَشْوِيهِهَا وَيُصَنِّفُ فِي رَدِّهَا؛ كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ حَتَّى دَوَّنَ فِي الدَّفَاتِرِ وَتَمَكَّنَ فِي السَّرَائِرِ؛ وَلَقَّنَ فِي الْكَتَاتِيبِ وَنَقَشَ فِي الْمَحَارِيبِ: أَنَّ اللَّهَ مُتَكَلِّمٌ إنْ شَاءَ تَكَلَّمَ وَإِنْ شَاءَ سَكَتَ؛ فَجَزَى اللَّهُ ذَاكَ الْإِمَامَ وَأُولَئِكَ النَّفَرَ الْغُرَّ عَنْ نُصْرَةِ دِينِهِ وَتَوْقِيرِ نَبِيِّهِ خَيْرًا

“Semakin keraslah sikap Imam Abu Bakr (Ibnu Khuzaimah) menghadapi fitnah (kesesatan) tersebut. Beliau lalu terus-menerus memperingatkan dan menulis (buku) untuk membantahnya, seakan-akan beliau memperingatkan pasukannya. Sampai-sampai beliau (memperingatkan dengan) menulis buku, ceramah, di madrasah, dan sampai diukir di mihrab bahwa sesungguhnya: Allah Ta’ala itu Maha berbicara. Allah berbicara ketika Allah Ta’ala berkehendak, dan jika Allah Ta’ala berkehendak, Allah Ta’ala diam. Semoga Allah Ta’ala membalas kebaikan kepada sang imam dan kelompok tersebut karena telah menolong agamanya dan memuliakan Nabinya.” (Majmu’ Al-Fataawa, 6: 178)

Baca Juga: ‘Arsy adalah Makhluk Allah yang Terbesar, Paling Tinggi dan yang Pertama Kali Allah Ciptakan

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu Ta’ala berkata,

فَثَبَتَ بِالسُّنَّةِ وَالْإِجْمَاعِ أَنَّ اللَّهَ يُوصَفُ بِالسُّكُوتِ؛ لَكِنَّ السُّكُوتَ يَكُونُ تَارَةً عَنْ التَّكَلُّمِ وَتَارَةً عَنْ إظْهَارِ الْكَلَامِ وَإِعْلَامِهِ

“Dalil dari sunnah dan ijma’ menetapkan bahwa Allah Ta’ala itu memiliki sifat sukuut. Akan tetapi, sukuut itu memiliki makna diam dari berbicara, dan terkadang memiliki makna tidak menampakkan pembicaraan.” (Majmu’ Al-Fataawa, 6: 179)

Setelah membawakan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di atas, dalam fatwa Islamweb disebutkan,

فالحاصل أن السكوت صفة ثابتة لله عزوجل ، على ما يليق به سبحانه : ( ليس كمثله شيء وهو السميع البصير) ، ومن تكلم باختياره ومشيئته ، سكت باختياره ومشيئته

“Sebagai kesimpulan, bahwa sukuut adalah sifat yang ditetapkan untuk Allah Ta’ala, sesuai dengan (keagungan dan kebesaran) Allah Ta’ala, “Tidak ada satu pun yang semisal dengan Allah, dan Dia Maha mendengar dan Maha melihat.” Dan siapa saja yang berbicara sesuai dengan keinginan dan kehendaknya, maka dia pun diam sesuai degan keinginan dan kehendaknya.” [1]

Baca Juga: Hak Allah Ta’ala Yang Wajib Dipenuhi Seluruh Hamba

Disebutkan juga dalam Dorar.net,

يوصف ربنا عزَّ وجلَّ بالسُّكوت كما يليق به سبحانه، لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ. وهذا ثابتٌ بالسنة الصحيحة، وهي صفةٌ فعليَّةٌ متعلقة بمشيئته سبحانه وتعالى

“Allah Ta’ala disifati dengan as-sukuut sesuai dengan yang layak bagi Allah Ta’ala, “Tidak ada satu pun yang semisal dengan Allah, dan Dia Maha mendengar dan Maha melihat.” Sifat ini ditetapkan berdasarkan sunnah yang shahih. Sifat ini adalah sifat fi’liyyah, yaitu sifat yang berkaitan dengan kehendak Allah Ta’ala.” [2]

Demikian pula dalam Sahab.net terdapat keterangan,

فإن الله عز وجل يوصف بالسكوت كما يليق به سبحانه وتعالى على وفق قوله تعالى (ليس كمثله شيء وهو السميع البصير) ، وهذه الصفة من صفات الله الفعلية الاختيارية متعلقة بمشيئته سبحانه وتعالى ، ولا تعارض بين إثبات هذه الصفة لله عز وجل حقيقة على الوجه اللائق به سبحانه وبين إثبات صفة الكلام له عز وجل لأن كلامه جل وعلا يتعلق بمشيئته فإن شاء تكلم وإن شاء الله لم يتكلم وهذا ينقض اعتقاد أهل البدع نقضًا في كلامه تعالى وذلك واضح لمن تأمله، وثبوت هذه الصفة لله عز وجل دل عليها السنة والأثر والإجماع وقد حكى الإجماع على ذلك شيخ الإسلام في مجموع فتاواه

“Sesungguhnya Allah Ta’ala disifati dengan as-sukuut, sesuai dengan yang layak untuk Allah Ta’ala, selaras dengan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Tidak ada satu pun yang semisal dengan Allah, dan Dia Maha mendengar dan Maha melihat.”  

Sifat ini adalah di antara sifat fi’liyyah yang berkaitan dengan kehendak Allah Ta’ala. Penetapan sifat ini secara hakiki dalam bentuk yang layak untuk Allah Ta’ala tidaklah bertentangan dengan penetapan sifat kalam (berbicara) Allah Ta’ala. Hal ini karena kalam Allah itu berkaitan dengan kehendak-Nya. Jika Allah Ta’ala berkehendak, Allah Ta’ala berbicara. Dan jika Allah Ta’ala berkehendak, Allah Ta’ala tidak berbicara (diam). 

Baca Juga: Bagaimana Akal Menunjukan Keberadaan Allah Ta’ala?

Keyakinan ini membantah keyakinan ahli bid’ah tentang kalam Allah Ta’ala, dan ini adalah perkara yang sangat jelas bagi siapa saja yang merenungkannya.

Penetapan sifat (sukuut) ini ditunjukkan oleh dalil-dalil dari sunnah, atsar (perkataan ulama salaf), dan ijma’. Dan ijma’ dalam masalah ini telah dinukil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa beliau.” [3]

Dalam beberapa hadits Nabi shallallahu ‘alahi wa sa sallam disebutkan tentang as-sukuut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مـا أحـلَّ الله في كتابـه فهو الحلال، وما حَرَّم فهو الحرام، وما سكت عنه فهو عَفْوٌ

“Apa yang Allah Ta’ala halalkan dalam kitab-Nya, maka itu halal. Dan apa yang Allah Ta’ala haramkan, maka itu haram. Dan apa yang Allah Ta’ala diamkan, maka dimaafkan … “ (HR. Al-Bazzaar 10: 27; Al-Hakim 2: 406; dinilai shahih oleh Al-Albani dalam At-Ta’liqaat Ar-Radhiyyah 3: 24)

Dalam hadits yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الحَلَالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَالحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ

“Yang halal adalah apa yang Allah Ta’ala halalkan dalam kitab-Nya. Yang haram adalah apa yang Allah Ta’ala haramkan dalam kitab-Nya. Dan apa yang Allah Ta’ala diamkan, itu termasuk apa yang Allah Ta’ala maafkan.” (HR. Tirmidzi no. 1726 dan Ibnu Majah no. 3367, dinilai hasan oleh Al-Albani)

Baca Juga: Sejarah Penamaan “Muhammad” Untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam

Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu Ta’ala ditanya,

هل ترون صفة السكوت لله تعالى وقد أثبتها بعض السلف واستدلوا بأحاديث كثيرة منها: وما سكت عنه فهو عفو الحديث؟

“Apakah pendapatmu tentang sifat sukuut untuk Allah Ta’ala, sebagian ulama salaf telah menetapkan sifat tersebut, dan mereka berdalil dengan hadits yang banyak, di antaranya, “Dan apa yang Allah Ta’ala diamkan, itu Allah Ta’ala maafkan”?

Beliau rahimahullahu Ta’ala menjawab,

نعم الذي يظهر ان الله سبحانه وتعالى يوصف بالسكوت سكوتا يليق بجلاله سبحانه وتعالى لكثرة الاحاديث او لان الاحاديث بمجموعها صالحة للحجية والله المستعان

“Iya, yang tampak bagiku adalah bahwa Allah Ta’ala itu disifati dengan sifat diam, yang sesuai dengan keagungan Allah Ta’ala karena banyaknya hadits (yang menunjukkannya). Dan hadits-hadits tersebut semuanya layak dijadikan sebagai dalil. Wallahul musta’an.” [4]

Dari penjelasan-penjelasan di atas, maka sifat “sukuut” (diam) tidak boleh dipahami sebagai sinonim dari “bisu”, karena pemahaman ini akan menyebabkan peniadaan sifat kalam bagi Allah Ta’ala secara mutlak. Dan tentu saja kesalahpahaman ini akibatnya sangatlah fatal karena berarti kita menolak salah satu sifat Allah Ta’ala. [5]

Baca Juga:

[Selesai]

***

@Hotel Ibis, 7 Dzulqa’dah 1440/10 Juli 2019

Penulis: M. Saifudin Hakim


Artikel asli: https://muslim.or.id/50526-dua-pengertian-sifat-kalam-allah-menurut-aqidah-ahlus-sunnah-bag-2.html